Sejarah Asal Usul Samurai di Dunia
Samurai adalah istilah untuk golongan bangsawan / perwira militer kelas elit sebelum zaman industrialisasi di Jepang. Samurai mengalami masa kejayaannya pada zaman pertempuran, atau periode perang antar negri (dalam bahasa Jepang disebut Sengoku Jidai). Kata “samurai” berasal dari kata kerja “samorau” asal bahasa Jepang kuno, berubah menjadi “saburau” yang berarti “melayani”, dan akhirnya menjadi “samurai” yang berarti bekerja / mengabdi kepada “majikan” (tuan / junjungannya).
Istilah yang lebih tepat adalah bushi (secara harafiah: “orang bersenjata”) yang digunakan semasa zaman Edo. Bagaimanapun, istilah samurai digunakan untuk prajurit elit dari kalangan bangsawan. Samurai yang tidak terikat dengan klan atau tidak bekerja bekerja untuk majikan/ (daimyo) disebut ronin (secara harafiah: “orang ombak”).
Golongan samurai hanya dapat dimasuki melalui kelahiran atau pengangkatan sebagai anak berdasarkan hokum. Meskipun samurai berstatus social tinggi, namun secara internal golongan samurai terbagi lagi dalam berbagai jenjang. Jenjang teratas ditempati oleh para daimyo beserta keluarga mereka, yang menikmati semua hak istimewa yang menyertai kedudukan itu. Sedangkan jenjang terendah ditempati oleh kaum ashigaru. Kaum ashigaru (secara harfiah: “kaki ringan”) adalah para serdadu pejalan kaki, laskar garda depan, pasukan bertombak, pembawa panji / bendera yang bertuliskan simbol klan. Mereka adalah prajurit rekrutan dari rakyat biasa yang biasanya golongan petani (samurai dadakan / samurai tanpa nama).
Samurai dianggap sebagai golongan ksatria/ militer yang terpelajar dan memiliki derajat yang tinggi di masyarakat, namun semasa Keshogunan Tokugawa berangsur-angsur samurai kehilangan fungsi ketentaraan mereka. Pada akhir era Tokugawa, samurai secara umumnya adalah kakitangan umum bagi daimyo, dengan pedang mereka hanya untuk tujuan istiadat. Dengan reformasi Meiji pada akhir abad ke-19, samurai dihapuskan sebagai kelas berbeda dan digantikan dengan tentara nasional yang menyerupai negara Barat. Bagaimanapun juga, sifat samurai yang ketat yang dikenal sebagai bushido masih tetap ada dalam masyarakat Jepang masa kini, sebagaimana tercermin dalam aspek cara hidup mereka yang ulet, gigih, tekun, penuh semangat dan pantang menyerah.
Berikut ini adalah contoh peraga Samurai :
Samurai mengunakan beberapa macam jenis senjata, tetapi katana adalah senjata yang paling sering digunakan dan identik dengan keberadaan mereka, Katana adalah sebutan untuk bilah pedang panjang. Dalam Bushido diajarkan bahwa katana adalah roh/ jiwa dari samurai dan digambarkan bahwa seorang samurai sangat tergantung pada katana dalam setiap pertempuran. Mereka percaya bahwa katana sangat penting dalam memberi kehormatan dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan seorang samurai.
Katana biasanya dipasangkan dengan wakizashi, keduanya hanya boleh dipakai oleh golongan samurai. Kedua senjata tersebut dipakai bersama-sama disebut daisho (secara harfiah memiliki arti: pedang panjang dan pendek), dan mewakili kekuatan sosial dan kehormatan pribadi samurai. Pedang panjang dipakai untuk pertempuran terbuka, sementara yang lebih pendek dipakai sebagai senjata sampingan (side arm), lebih cocok untuk menikam, pertempuran jarak dekat, dan juga digunakan untuk seppuku/harakiri (ritual bunuh diri).
Berikut ini adalah contoh Katana :
Pedang Jepang terkenal diseluruh dunia karena kualitasnya. Bilahnya merupakan lapisan baja yang sangat kuat dan keras. Katana adalah pedang terbaik yang pernah ada. Pembuatan bilah pedang katana merupakan proses yang sangat panjang dan sulit, dimana satu batang logam baja yang tebal dan panas dilipat berulang-ulang. Bilah pedang yang setengah jadi lalu diserahkan kepada tukang asah dan tukang poles, sebelum dikembalikan lagi kepada si pembuat pedang untuk dilakukan proses finishing dan diberi rincian-rincian akhir beserta tanda tangan pembuatnya. Pembuatan pedang katana hingga ‘siap pakai’ bisa mencapai waktu hingga berbulan-bulan. Dari dulu pedang katana tua / antik sangat dikagumi dan dihormati, harganyapun bisa mencapai jutaan dollar. Bahkan pada sebuah museum di Jepang ada pedang yang telah berusia lebih dari 800 tahun namun hingga kini masih tampak baru dan seakan-akan baru selesai di poles.
Apabila seorang anak dari golongan samurai telah mencapai usia tiga belas tahun, ada upacara yang dikenali sebagai Genpuku. Anak laki-laki yang menjalani genpuku mendapat sebuah wakizashi (pedang pendek) dan diberi nama dewasa untuk menjadi samurai secara resmi. Ini dapat diartikan dia diberi hak untuk mengenal katana walaupun biasanya katana tersebut diikat dengan simpul tali untuk menghindari katana terhunus secara tidak sengaja. Pasangan katana dan wakizashi dikenal sebagai Daisho, yang artinya “besar dan kecil”, atau secara harfiah berarti pedang penjang dan pedang pendek.
Berikut ini adalah contoh beberapa Wakizashi :
Daisho adalah istilah untuk sepasang pedang, yaitu; sebilah pedang panjang (Katana), dan sebilah pedang pendek (Wakizashi),yang merupakan jiwa dan identitas sebagai seorang samurai. Katana dan Wakizashi merupakan senjata yang ideal pada zaman samurai. Kesempurnaan pedang jepang sebagai senjata yang elegan, tangguh dan eksklusif dimanifestasikan oleh kecantikan kilauan baja yang menakutkan pada kilauan bilah mata pedang yang dihaluskan/ diasah dengan cermat, konon pedang tersebut diyakini sanggup untuk memotong besi atau bahkan baja. Pedang jepang dapat bertahan hingga ribuan tahun, sebagai perlambang harta warisan generasi bangsawan militer yang sangat sakral, mewah dan membanggakan. Pedang semacam ini tidak dibuat atau ditemukan pada tentara atau pada negara lain di dunia.
Berikut ini adalah contoh sepasang Katana dan Wakizashi / (Daisho) :
Samurai membawa Daisho (Katana dan Wakizashi) terselip pada sebelah kiri kain sabuk/ ikat pinggangnya (obi), dengan bilah mata pedang tajam menghadap ke atas. Wakizashi/ Pedang pendek dibawa sepanjang waktu, sedangkan Katana/ Pedang panjang hanya dibawa ketika sedang bepergian. Samurai menyimpan Wakizashi di pinggiran tempat tidur pada saat sedang tidur, sedangkan Katana biasanya diletakan pada rak-khususnya.
Dibawah ini adalah contoh peraga Samurai dalam menggunakan Daisho :
Dan Berikut ini adalah contoh Tanto/Kodachi (belati Samurai):
Toyotomi Hideyoshi adalah Shogun yang mengeluarkan aturan untuk melestarikan senjata khas kalangan samurai, yaitu dengan memberikan ketentuan pemakaian pedang Daisho (yaitu membawa sepasang pedang: Katana dan Wakizashi). Jadi hanya kalangan samurai sajalah yang diizinkan untuk memakai dua pedang. Pedang pendek dapat digunakan oleh setiap orang, sedangkan pedang panjang hanya digunakan untuk kalangan ksatria / bangsawan militer atau lebih dikenal dengan istilah golongan samurai.
Di bawah ini adalah lukisan / gambar Toyotomi Hideyoshi
Ada empat kelompok strata / kelas sosial masyarakat Jepang, yaitu: samurai, petani, seniman dan pedagang / saudagar. Samurai merupakan golongan yang memegang status / strata masyarakat yang tertinggi, karena termasuk dalam golongan bangsawan, golongan militer, golongan terpelajar, penguasa, pegawai negara dan ksatria. Keturunan samurai (baik laki-laki maupun perempuan) dengan sendirinya masuk kedalam golongan bangsawan militer, tanpa memandang apakah mereka pernah mengangkat pedang atau tidak.
Namun peran samurai tidak semata-mata terbatas pada bidang militer saja. Beberapa samurai juga banyak yang menjadi cendikiawan termahsyur, ada yang berkiprah sebagai administrator sipil dan militer, seniman, pakar estetika dan bahkan seringkali dalam bidang politik. Namun semuanya dituntut untuk akrab dengan peran status mereka dalam keadaan perang.
Bagi anak-anak samurai, pelatihan untuk hidup keprajuritan yang akan mereka jalani dimulai sejak dini, bahkan sejak lahir, apabila ada tanda-tanda bahwa bayi itu nantinya kidal. Di Jepang, yang mengutamakan penyesuaian diri, tidak boleh ada orang yang kidal, kekidalan adalah suatu aib yang tidak dapat diterima. Jika ada kemungkinan seorang anak akan mengalami kekidalan maka lengan kirinya akan diikat, semua barang akan ditempatkan dalam jangkauan tangan kanan, dan segala sesuatunya akan dilakukan dan diupayakan untuk menghilangkan sifat kidal tersebut.
Antara usia tujuh dan delapan tahun, anak-anak samurai didorong untuk bersikap baik dan kooperatif terhadap rekan-rekan bermain mereka, dan diajarkan agar menjauhi sikap suka berkelahi maupun terlalu mementingkan diri sendiri. Pada usia sembilan dan sepuluh tahun, mereka lebih memusatkan perhatian kepada subjek-subjek akademis seperti belajar dan menulis. Bagian pendidikan yang serius berlangsung antara usia sepuluh dan dua belas, ketika seorang anak dapat menghabiskan waktu sampai dua belas jam sehari untuk berbagai mata pelajaran, mulai dari menekuni ilmu-ilmu abstrak, filsafat, jasmani termasuk bela diri khusunya kendo / berlatih pedang, hingga belajar alat musik. Banyak para samurai muda diantaranya yang berumur kisaran tiga belas sampai empat belas tahun yang mulai diikut sertakan dalam pertempuran / medan perang.
“Jalan samurai dapat ditemukan dalam kematian”, pepatah sederhana itu sering dikutip atau diungkapkan dalam karya-karya mengenai sejarah Jepang, yang menekankan konsep kewajiban para samurai. Kematian di medan laga adalah ambisi yang terhormat. Para petarung seringkali terjun ke suatu pertempuran dengan menyadari bahwa kematian tidak terelakkan. Ada sejumlah hal yang lebih buruk dan menyedihkan dibandingkan kematian, yaitu: gagal melayani tuannya dengan baik, gagal dalam menjalani misi yang diemban, atau membawa aib kepada marga, junjungan / bahkan dirinya sendiri. Jika terluka parah dalam perang, seorang samurai pada umumnya akan lebih memilih bunuh diri daripada membiarkan dirinya ditawan musuh atau mendapat malu karena menderita oleh rasa sakit yang dialaminya. Mereka beranggapan bahwa mereka toh akan mati juga, jadi bunuh diri dipandang sebagai kematian dengan cara mereka sendiri, yaitu mati dengan membawa harga diri dan kehormatan yang tetap utuh.
Cara bunuh diri yang paling banyak dipilih ialah seppuku / dikenal juga dengan harakiri. Bunuh diri menjadi pilihan dalam berbagai situasi, dan mungkin paling dikenal sebagai bentuk hukuman, selain itu bunuh diri juga merupakan cara menebus suatu kesalahan secara sepenuhnya sukarela. Biasanya ritual bunuh diri (seppuku/hara-kiri) yang resmi dilakukan dengan menggunakan wakizashi. Harakiri berasala dari Kata hara yang berarti perut dan kiri yang berarti memotong, secara harfiah berarti memotong / merobek perut. Kebiasaan harakiri ini dilakukan oleh prajurit berkelas tinggi dari kalangan samurai sebagai bukti kesetiaan. Bunuh diri yang dilakukan para samurai ini sangat menyiksa, karena si pelaku harus menunggu kematian karena kehabisan darah setelah merobek dan mengeluarkan isi perutnya.
Di bawah ini adalah ilustrasi dari ritual Harakiri/Seppuku yang dilakukan oleh Samurai :
Ada ritual khusus yang harus dilakukan oleh samurai jika ingin melakukan hara-kiri, yaitu; ia harus mandi, menggunakan jubah putih, dan makan makanan favoritnya. Namun aturan ini tidak mutlak / tidak wajib untuk dilaksanakan.
Secara aturan tradisional seharusnya ada seorang asisten / pendamping (kaishakunin) yang dipilih oleh samurai yang akan melakukan harakiri, yang siap membantu untuk memenggal kepala sang pelaku hara-kiri hingga terlepas dari batang lehernya dengan katana. Jika pelaku harakiri menjerit atau menangis kesakitan saat ia menusuk dan mengeluarkan isi perutnya, hal tersebut dianggap sangat memalukan bagi seorang samurai. Karena itu Kaishaku bertugas mengurangi penderitaan itu, mempercepat kematian dengan memenggal kepala si pelaku.
Ritual seppuku/hara-kiri yang lengkap terdiri dari dua sayatan diperut, sayatan pertama mendatar dari kiri ke kanan, melintang pada perut di bawah pusar, kemudian sayatan yang kedua mengarah keatas dari bawah pusar, hingga seluruh isi perutnya terburai keluar. Namun pada kenyataannya sebagian besar samurai hanya sempat melakukan sayatan pertama sebelum akhirnya dipenggal. Tetapi adapula samurai yang hendak membuktikan ketegarannya, dan memerintahkan pendampingnya untuk menunggu sampai sayatan kedua selesai dilakukan. Tanpa didampingi asisten, maka kematian yang lama dan menyakitkanlah yang menanti. Karena alasan inilah mereka yang tidak didampingi siapapun seringkali memotong leher sendiri setelah melakukan satu atau dua sayatan tadi.
Kaum perempuan dari golongan samuraipun melakukan bunuh diri dengan aturan dan cara tersendiri, yang dinamakan dengan ojigi. Mereka harus menusukkan belati kedalam tenggorokan, atau menghujamkannnya ke dada. Kaum perempuanpun seringkali saling membantu dalam melakukan ritual bunuh diri.
Obsesi kepada kematian (terutama bunuh diri) menegaskan keseluruhan konsep kesetiaan yang berapi-api sebagai kekuatan pemotivasi. Para samurai diharapkan untuk setia dan bersedia mengorbankan jiwa dan raga demi tuan / junjungan mereka. Apa saja yang diminta oleh sang junjungan, itulah yang menjadi tuntutan dan kewajiban untuk dilakukan. Sejarah kehidupan samurai penuh dengan kisah kesetian dan keperwiraan di hadapan maut. Perlu ditekankan bahwa kesetiaan yang sangat fanatik seperti ini hanya lazim bagi samurai yang terlahir dalam satu marga, atau yang keluarganya secara turun temurun mengabdi menjadi pengikut marga tersebut.
Samurai dianggap sebagai golongan ksatria/ militer yang terpelajar dan memiliki derajat yang tinggi di masyarakat, namun semasa Keshogunan Tokugawa berangsur-angsur samurai kehilangan fungsi ketentaraan mereka. Pada akhir era Tokugawa, samurai secara umumnya adalah kakitangan umum bagi daimyo, dengan pedang mereka hanya untuk tujuan istiadat. Dengan reformasi Meiji pada akhir abad ke-19, samurai dihapuskan sebagai kelas berbeda dan digantikan dengan tentara nasional yang menyerupai negara Barat. Bagaimanapun juga, sifat samurai yang ketat yang dikenal sebagai bushido masih tetap ada dalam masyarakat Jepang masa kini, sebagaimana tercermin dalam aspek cara hidup mereka yang ulet, gigih, tekun, penuh semangat dan pantang menyerah.
Berikut ini adalah contoh peraga Samurai :
Katana biasanya dipasangkan dengan wakizashi, keduanya hanya boleh dipakai oleh golongan samurai. Kedua senjata tersebut dipakai bersama-sama disebut daisho (secara harfiah memiliki arti: pedang panjang dan pendek), dan mewakili kekuatan sosial dan kehormatan pribadi samurai. Pedang panjang dipakai untuk pertempuran terbuka, sementara yang lebih pendek dipakai sebagai senjata sampingan (side arm), lebih cocok untuk menikam, pertempuran jarak dekat, dan juga digunakan untuk seppuku/harakiri (ritual bunuh diri).
Berikut ini adalah contoh Katana :
Apabila seorang anak dari golongan samurai telah mencapai usia tiga belas tahun, ada upacara yang dikenali sebagai Genpuku. Anak laki-laki yang menjalani genpuku mendapat sebuah wakizashi (pedang pendek) dan diberi nama dewasa untuk menjadi samurai secara resmi. Ini dapat diartikan dia diberi hak untuk mengenal katana walaupun biasanya katana tersebut diikat dengan simpul tali untuk menghindari katana terhunus secara tidak sengaja. Pasangan katana dan wakizashi dikenal sebagai Daisho, yang artinya “besar dan kecil”, atau secara harfiah berarti pedang penjang dan pedang pendek.
Berikut ini adalah contoh beberapa Wakizashi :
Berikut ini adalah contoh sepasang Katana dan Wakizashi / (Daisho) :
Samurai membawa Daisho (Katana dan Wakizashi) terselip pada sebelah kiri kain sabuk/ ikat pinggangnya (obi), dengan bilah mata pedang tajam menghadap ke atas. Wakizashi/ Pedang pendek dibawa sepanjang waktu, sedangkan Katana/ Pedang panjang hanya dibawa ketika sedang bepergian. Samurai menyimpan Wakizashi di pinggiran tempat tidur pada saat sedang tidur, sedangkan Katana biasanya diletakan pada rak-khususnya.
Dibawah ini adalah contoh peraga Samurai dalam menggunakan Daisho :
Dan Berikut ini adalah contoh Tanto/Kodachi (belati Samurai):
Toyotomi Hideyoshi adalah Shogun yang mengeluarkan aturan untuk melestarikan senjata khas kalangan samurai, yaitu dengan memberikan ketentuan pemakaian pedang Daisho (yaitu membawa sepasang pedang: Katana dan Wakizashi). Jadi hanya kalangan samurai sajalah yang diizinkan untuk memakai dua pedang. Pedang pendek dapat digunakan oleh setiap orang, sedangkan pedang panjang hanya digunakan untuk kalangan ksatria / bangsawan militer atau lebih dikenal dengan istilah golongan samurai.
Di bawah ini adalah lukisan / gambar Toyotomi Hideyoshi
Ada empat kelompok strata / kelas sosial masyarakat Jepang, yaitu: samurai, petani, seniman dan pedagang / saudagar. Samurai merupakan golongan yang memegang status / strata masyarakat yang tertinggi, karena termasuk dalam golongan bangsawan, golongan militer, golongan terpelajar, penguasa, pegawai negara dan ksatria. Keturunan samurai (baik laki-laki maupun perempuan) dengan sendirinya masuk kedalam golongan bangsawan militer, tanpa memandang apakah mereka pernah mengangkat pedang atau tidak.
Namun peran samurai tidak semata-mata terbatas pada bidang militer saja. Beberapa samurai juga banyak yang menjadi cendikiawan termahsyur, ada yang berkiprah sebagai administrator sipil dan militer, seniman, pakar estetika dan bahkan seringkali dalam bidang politik. Namun semuanya dituntut untuk akrab dengan peran status mereka dalam keadaan perang.
Bagi anak-anak samurai, pelatihan untuk hidup keprajuritan yang akan mereka jalani dimulai sejak dini, bahkan sejak lahir, apabila ada tanda-tanda bahwa bayi itu nantinya kidal. Di Jepang, yang mengutamakan penyesuaian diri, tidak boleh ada orang yang kidal, kekidalan adalah suatu aib yang tidak dapat diterima. Jika ada kemungkinan seorang anak akan mengalami kekidalan maka lengan kirinya akan diikat, semua barang akan ditempatkan dalam jangkauan tangan kanan, dan segala sesuatunya akan dilakukan dan diupayakan untuk menghilangkan sifat kidal tersebut.
“Jalan samurai dapat ditemukan dalam kematian”, pepatah sederhana itu sering dikutip atau diungkapkan dalam karya-karya mengenai sejarah Jepang, yang menekankan konsep kewajiban para samurai. Kematian di medan laga adalah ambisi yang terhormat. Para petarung seringkali terjun ke suatu pertempuran dengan menyadari bahwa kematian tidak terelakkan. Ada sejumlah hal yang lebih buruk dan menyedihkan dibandingkan kematian, yaitu: gagal melayani tuannya dengan baik, gagal dalam menjalani misi yang diemban, atau membawa aib kepada marga, junjungan / bahkan dirinya sendiri. Jika terluka parah dalam perang, seorang samurai pada umumnya akan lebih memilih bunuh diri daripada membiarkan dirinya ditawan musuh atau mendapat malu karena menderita oleh rasa sakit yang dialaminya. Mereka beranggapan bahwa mereka toh akan mati juga, jadi bunuh diri dipandang sebagai kematian dengan cara mereka sendiri, yaitu mati dengan membawa harga diri dan kehormatan yang tetap utuh.
Cara bunuh diri yang paling banyak dipilih ialah seppuku / dikenal juga dengan harakiri. Bunuh diri menjadi pilihan dalam berbagai situasi, dan mungkin paling dikenal sebagai bentuk hukuman, selain itu bunuh diri juga merupakan cara menebus suatu kesalahan secara sepenuhnya sukarela. Biasanya ritual bunuh diri (seppuku/hara-kiri) yang resmi dilakukan dengan menggunakan wakizashi. Harakiri berasala dari Kata hara yang berarti perut dan kiri yang berarti memotong, secara harfiah berarti memotong / merobek perut. Kebiasaan harakiri ini dilakukan oleh prajurit berkelas tinggi dari kalangan samurai sebagai bukti kesetiaan. Bunuh diri yang dilakukan para samurai ini sangat menyiksa, karena si pelaku harus menunggu kematian karena kehabisan darah setelah merobek dan mengeluarkan isi perutnya.
Di bawah ini adalah ilustrasi dari ritual Harakiri/Seppuku yang dilakukan oleh Samurai :
Ada ritual khusus yang harus dilakukan oleh samurai jika ingin melakukan hara-kiri, yaitu; ia harus mandi, menggunakan jubah putih, dan makan makanan favoritnya. Namun aturan ini tidak mutlak / tidak wajib untuk dilaksanakan.
Secara aturan tradisional seharusnya ada seorang asisten / pendamping (kaishakunin) yang dipilih oleh samurai yang akan melakukan harakiri, yang siap membantu untuk memenggal kepala sang pelaku hara-kiri hingga terlepas dari batang lehernya dengan katana. Jika pelaku harakiri menjerit atau menangis kesakitan saat ia menusuk dan mengeluarkan isi perutnya, hal tersebut dianggap sangat memalukan bagi seorang samurai. Karena itu Kaishaku bertugas mengurangi penderitaan itu, mempercepat kematian dengan memenggal kepala si pelaku.
Ritual seppuku/hara-kiri yang lengkap terdiri dari dua sayatan diperut, sayatan pertama mendatar dari kiri ke kanan, melintang pada perut di bawah pusar, kemudian sayatan yang kedua mengarah keatas dari bawah pusar, hingga seluruh isi perutnya terburai keluar. Namun pada kenyataannya sebagian besar samurai hanya sempat melakukan sayatan pertama sebelum akhirnya dipenggal. Tetapi adapula samurai yang hendak membuktikan ketegarannya, dan memerintahkan pendampingnya untuk menunggu sampai sayatan kedua selesai dilakukan. Tanpa didampingi asisten, maka kematian yang lama dan menyakitkanlah yang menanti. Karena alasan inilah mereka yang tidak didampingi siapapun seringkali memotong leher sendiri setelah melakukan satu atau dua sayatan tadi.
Kaum perempuan dari golongan samuraipun melakukan bunuh diri dengan aturan dan cara tersendiri, yang dinamakan dengan ojigi. Mereka harus menusukkan belati kedalam tenggorokan, atau menghujamkannnya ke dada. Kaum perempuanpun seringkali saling membantu dalam melakukan ritual bunuh diri.
Obsesi kepada kematian (terutama bunuh diri) menegaskan keseluruhan konsep kesetiaan yang berapi-api sebagai kekuatan pemotivasi. Para samurai diharapkan untuk setia dan bersedia mengorbankan jiwa dan raga demi tuan / junjungan mereka. Apa saja yang diminta oleh sang junjungan, itulah yang menjadi tuntutan dan kewajiban untuk dilakukan. Sejarah kehidupan samurai penuh dengan kisah kesetian dan keperwiraan di hadapan maut. Perlu ditekankan bahwa kesetiaan yang sangat fanatik seperti ini hanya lazim bagi samurai yang terlahir dalam satu marga, atau yang keluarganya secara turun temurun mengabdi menjadi pengikut marga tersebut.
Sejarah Asal Usul Samurai di Dunia
Reviewed by Xjoker
on
03.45
Rating:
Tidak ada komentar: